Kanti W. Janis, novelis, Jakarta
Dalam rangka menulis
sebuah cerpen, secara setengah sengaja saya mencari-cari data tentang
tragedi Semanggi, yang terjadi pada pertengahan ‘98. Akhirnya pencarian
itu membawa saya pada kisah perjuangan Bangsa Indonesia untuk melepaskan
diri dari kungkungan Orde Baru mulai dari kasus 27 Juli. Sebuah
perjuangan keras untuk kebebasan berpendapat. Dan perjuangan itu
ternyata sangat menyakitkan, berdarah-darah, menyayat hati, memakan
nyawa juga harga diri.
Waktu tahun 1998 saya masih kelas 1 SMP, dan saya sudah ingat
betul apa yang terjadi. Kami satu keluarga besar demi keamanan bersama
akhirnya memilih untuk tinggal di dalam satu rumah, yaitu di rumah nenek
untuk sementara waktu.Waktu itu saya masih polos, belum mengerti banyak. Keadaan yang sebenarnya mencekam malah saya nikmati. Pada periode itu sekolah sering diliburkan atau dipulangkan lebih cepat. Pada masa-masa saya jadi sering menginap rame-rame bareng sepupu-sepupu di rumah nenek.
Kemudian saat Soeharto
diumumkan mengundurkan diri pada 21 Mei, saya pun dengan riang gembira
ikut-ikutan turun ke jalan,masih dengan pakaian tidur,dan alas kaki
seketemunya. Saya masih ingat jalan kaki di jalan tol Taman Ria Senayan
yang tepat berada di depan Gedung MPR/DPR bersama ribuan orang. Kemudian
besoknya di sekolah guru-guru dan teman-teman heboh bilang lihat saya
ikutan demo, ah, rupanya wajah saya tertangkap kamera TV!
Akibat Tragedi Semanggi dan lengsernya Soeharto kata reformasi
tiba-tiba menjadi populer. Sebelumnya kata itu hampir tidak dikenal.
Orang-orang yang dulu ngga berani ngomong apa-apa mulai jumawa
macam-macam. Pokoknya reformasi katanya. Segala perubahan entah baik
atau buruk semuanya masuk ke dalam kategori reformasi. Lalu muncul juga
para reformis kesiangan. Tapi yang membuat saya paling tidak habis
berpikir adalah orang-orang yang memanfaatkan situasi. Dengan kejamnya
mereka menyebarkan isu SARA, sehingga terjadi chaos besar-besar.
Penjarahan di mana-mana, pemerkosaan, pembunuhan…. Waktu itu saya tahu kondisi Indonesia sedang buruk, tapi saya ngga ngeh kalau kondisinya benar-benar mengenaskan. Saya baru benar-benar sadar bahwa harga kebebasan berpendapat itu begitu mahal beberapa saat kemudian, terutama saat saya mendengar berita tentang teman kakak yang jadi korban kerusuhan. Dia tewas di lalap api karena terjebak kebakaran di rumahnya, ngilu dengarnya. Pergi ke sekolah juga ngga sama lagi. Kebetulan saya bersekolah di sekolah Katolik dengan mayoritas murid keturunan Tionghoa, hingga banyak sekali dari mereka yang pindah keluar negeri, begitu juga dengan sahabat saya.
Selain itu saya dengar si
ini jadi korban pemerkosaan, si itu anaknya meninggal, atau si itu
rumahnya dibakar ludes, dan kerabat dekat kami Elang Mulya juga tewas
akibat kebrutalan peluru tentara…Betapa mahalnya….
Sekarang kita sudah bisa begitu bebas berpendapat, bersuara,
berbagai fasilitas mendukung kita untuk mengungkapkan pendapat; seperti
fasilitas blog yang tersedia kapan saja, gratis. Kita bisa memperbaharui
status seenaknya lewat twitter, sedikit punya pendapat langsung kita
unggah ke twitter atau facebook. Mau menggalang partisipan untuk membela
Prita Mulyasari tinggal lewat Facebook. Mau mendukung Ariel tinggal
bikin fans page. Dulu mau nulis hal-hal yang berbau politik sedikit mesti mikir ribuan kali.
Sekarang orang bisa
menggalang massa demo ribuan orang untuk protes kelakuan pemerintah cuma
lewat Facebook, semuanya dapat dilakukan hanya dalam hitungan menit.
Karena itu rasanya miris sekali kalau harga yang mahal itu sekarang
hanya dihabur-haburkan untuk menjelekan orang, atau lebih parahnya,
memfitnah. Sekarang masyarakat kita daripada bicara kebenaran lebih
banyak menghujat. Coba buka situs-situs yang menyediakan kolom untuk
meninggalkan komentar, bisa dipastikan mayoritas isinya hujatan.
Berita-berita di media juga isinya hanya saling memanas-manasi, segala
cara ditempuh demi meraih rating tinggi.
Cita-cita saya menuliskan ini hanya ingin mengingatkan bahwa,
betapa mahalnya harga sebuah kebebasan berpendapat yang telah kita
peroleh sekarang. Karena itu jangan sia-siakan, berpendapatlah dengan
baik, jangan saling tuding atau menghujat. Yang paling penting
berpendapatlah untuk kebenaran!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar